Ratu
itu..
Sett…saaat,,,,tebasan
pedang yang masih bersarung itu berhasil melumpuhkan beberapa lawan pemuda itu,
hanya bersisa dua orang lawan lagi yang cukup tangguh menghadapinya tetapi
itupun mereka mulai terengah-engah. Postur
tubuh yang tinggi dan tegap dengan keterampilan bela diri yang tinggi serta
kecepatan gerak berpindah pemuda itu membuatnya dapat bertahan meski dengan
lawan yang cukup banyak.
Brukk..bruk…hampir bersamaan dua orang yang tersisa tadi pun akhirnya ambruk. Dengan langkah sangat santai diambilnya
makanan yang tadi sempat direbut oleh para geng pasar itu. Ubi bakar yang diperolehnya dari pedagang
yang menurutnya paling baik hati di desa itu telah habis meluncur dengan tepat
ke lambungnya yang belum terisi 2 hari terakhir ini. Gurunya tidak akan memperbolehkan pemuda itu
untuk pulang ke rumah apabila belum menemukan ramuan yang diminta gurunya
itu. Sungguh malang, meski sudah keluar
dari hutan dan menuruni bukit tempatnya dan guru itu tinggal, pemuda itu belum
menemukannya. Dia sudah menanyakannya
hampir kepada semua pedagang yang ada di pasar tadi, dari pedagang ramuan
obat-obatan hingga pedagang kain yang terlihat angkuh, jawaban dari mereka sama
“tidak ada”. Kemalangan bertambah ketika
pemuda itu ingin kembali ke bukit dia dihadang oleh gerombolan perusuh pasar,
amanat gurunya untuk menahan diri dari perkelahian fisik pun terpaksa dia
abaikan.
Pemuda itu menelusuri
hutan yang dipenuhi dengan pohon-pohon besar dengan semak belukar khas musim
semi. Setelah keluar dari barisan pohon
Pong-Pong yang tengah berbunga pemuda itu melintasi bukit-bukit tanpa naungan
pepohonan besar itu lagi. Sejauh mata
memandang yang ada hanya sekumpulan semak-semak layaknya padang sabana, hanya
saja perdu yang berukuran rata-rata setengah badan pemuda itu menyembulkan
bunganya yang berwarna-warni, tetapi kebanyakan darinya didominasi oleh bunga
kuning yang cerah. Pemuda itu melewati
jalan setapak yang sepertinya memang sering digunakan oleh orang-orang yang
sering melintasi perbukitan ini, mungkin mereka adalah pedagang yang berdagang
dari satu pelosok ke pelosok negeri ini, atau para pemburu baik dari rakyat
jelata maupun kalangan bangsawan bahkan mungkin raja di negeri itu yang sengaja
mencari suasana baru dari beragamnya permasalahan rumit di ibukota kerajaan
yang berjarak 3 hari 3 malam dengan menunggangi kuda yang memiliki kecepatan di
bawah rata-rata. Jalan setapak itu berada diantara beraneka ragamnya warna
bunga yang hanya bertahan sampai musim gugur nanti.
Pemuda itu sejenak
menghentikan langkah kakinya, disebelah kanannya jauh sesudah padang bunga itu
terlihat siluet pegunungan yang memiliki bukit-bukit yang mungkin tak kalah
indahnya dengan bukit yang sekarang pemuda itu jejaki. Dia tak mengingat gunung mana saja yang
pernah ia singgahi dengan sang guru, tetapi baginya di sini lah tempat yang
sangat mengesankan, entah apa sebabnya dia sendiri tidak tahu. Hampir 2 kali musim panas terakhir telah dia
lalui, jadi baginya ini adalah musim semi pertamanya di sini. Perasaan tak menentu kembali menyeruak dalam benaknya,
pulang kembali atau melarikan diri dari pukulan tongkat guru yang ahli pedang
itu. Tapi dia tetap meneguhkan hatinya
untuk menemui orang tua yang dari dulu merawatnya itu, karena hanya guru itu
lah keluarga yang dia punyai selama 23 tahun hidupnya di dunia ini.
“Apa kau sudah makan?”
Tanya guru itu kepada pemuda itu setelah beberapa saat pemuda itu datang dengan
wajah yang lelah dan gugup.
“Ehhmm…sudah guru..”
pemuda itu menjawab sambil menundukkan wajahnya.
Breaakk…suara kayu yang
dari tadi dipegang oleh guru itu itu berdentam pada meja kecil di halaman gubuk
khas rakyat Dinasti Han pada masa itu.
“Apa kau makan daging
lagi!!!” Suara guru itu meninggi.
“Tidak
guru,,sungguh,aku hanya memakan beberapa potong ubi bakar yang diberikan oleh
pedagang di desa yang tak jauh dari kaki bukit sana, aku mohon percaya denganku
guru…” wajah pemuda itu memelas, seraya bersimpuh di hadapan gurunya.
Sang Guru berpaling
tanpa memandang ke arah pemuda itu, masih dengan muka dingin yang tak
bergeming. Dibawanya piring berisi nasi
seraya membawa segelas air putih di tangan yang lain, sementara kayu tadi
disandarkannya pada meja kecil tadi.
“Makanlah…” guru itu
meletakkan piring dan gelas tersebut di meja, setelah berlalu beberapa saat
guru itu kembali membawa semangkuk sup kacang tanah dan beberapa buah Kesemek.
Meski masih takut-takut
pemuda itu akhirnya mengangkat wajahnya untuk menatap wajah tegas sang guru,
jauh di dalam mata guru itu dia melihat sebuah ketulusan yang tak pernah dia
rasakan dengan siapa pun bahkan jauh lebih tulus dari pedagang yang memberinya
ubi bakar tadi. Sejak 20 tahun silam
senyum dan keceriaan di wajah gurunya itu memang tampak memudar, dan dia sadar
itu adalah kesalahan dirinya. Sedikit
demi sedikit pemuda itu bangkit dan duduk di kursi kayu berkaki dua yang ada
tepat disebelahnya.
Pemuda itu terlihat
makan dengan lahapnya, ternyata beberapa buah ubi bakar tadi tidak cukup untuk
menebus rasa laparnya selama ini. Semua
nasi dan lauk pauk yang tadi disajikan oleh gurunya telah lenyap tak bersisa,
yang tertinggal hanya lah remah dari buah kesemek. Guru itu terus memperhatikan murid
satu-satunya tersebut, ada rasa kasihan, bangga, dan kekhawatiran dalam
benaknya terhadap pemuda yang senantiasa mengabdi kepadanya itu.
“Bidam…apa kau tadi
berkelahi lagi?” meskipun dengan muka yang tetap dingin, nada suara sang guru
mengandung siratan layaknya seorang ayah yang begitu perhatian terhadap
putranya.
“Eeee..i..i..ya guru,
maafkan aku sekali lagi guru” Bidam langsung beranjak dari kursi dan bertekuk
lutut seraya memeluk betis sang guru.
“Bangkit lah..”
Kewibawan yang senantiasa ditunjukkan Guru Munno membuat Bidam merasa yakin
untuk kembali berdiri di hadapan gurunya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar