ANTIK'$ CoMe to p34Ce

The kwarter irrigation

The kwarter irrigation
Sungai rangas, Martapura

Matan Martapura


Ratu itu..
Sett…saaat,,,,tebasan pedang yang masih bersarung itu berhasil melumpuhkan beberapa lawan pemuda itu, hanya bersisa dua orang lawan lagi yang cukup tangguh menghadapinya tetapi itupun mereka mulai terengah-engah.  Postur tubuh yang tinggi dan tegap dengan keterampilan bela diri yang tinggi serta kecepatan gerak berpindah pemuda itu membuatnya dapat bertahan meski dengan lawan yang cukup banyak.  Brukk..bruk…hampir bersamaan dua orang yang tersisa tadi pun akhirnya ambruk.  Dengan langkah sangat santai diambilnya makanan yang tadi sempat direbut oleh para geng pasar itu.  Ubi bakar yang diperolehnya dari pedagang yang menurutnya paling baik hati di desa itu telah habis meluncur dengan tepat ke lambungnya yang belum terisi 2 hari terakhir ini.  Gurunya tidak akan memperbolehkan pemuda itu untuk pulang ke rumah apabila belum menemukan ramuan yang diminta gurunya itu.  Sungguh malang, meski sudah keluar dari hutan dan menuruni bukit tempatnya dan guru itu tinggal, pemuda itu belum menemukannya.  Dia sudah menanyakannya hampir kepada semua pedagang yang ada di pasar tadi, dari pedagang ramuan obat-obatan hingga pedagang kain yang terlihat angkuh, jawaban dari mereka sama “tidak ada”.  Kemalangan bertambah ketika pemuda itu ingin kembali ke bukit dia dihadang oleh gerombolan perusuh pasar, amanat gurunya untuk menahan diri dari perkelahian fisik pun terpaksa dia abaikan.
Pemuda itu menelusuri hutan yang dipenuhi dengan pohon-pohon besar dengan semak belukar khas musim semi.  Setelah keluar dari barisan pohon Pong-Pong yang tengah berbunga pemuda itu melintasi bukit-bukit tanpa naungan pepohonan besar itu lagi.  Sejauh mata memandang yang ada hanya sekumpulan semak-semak layaknya padang sabana, hanya saja perdu yang berukuran rata-rata setengah badan pemuda itu menyembulkan bunganya yang berwarna-warni, tetapi kebanyakan darinya didominasi oleh bunga kuning yang cerah.  Pemuda itu melewati jalan setapak yang sepertinya memang sering digunakan oleh orang-orang yang sering melintasi perbukitan ini, mungkin mereka adalah pedagang yang berdagang dari satu pelosok ke pelosok negeri ini, atau para pemburu baik dari rakyat jelata maupun kalangan bangsawan bahkan mungkin raja di negeri itu yang sengaja mencari suasana baru dari beragamnya permasalahan rumit di ibukota kerajaan yang berjarak 3 hari 3 malam dengan menunggangi kuda yang memiliki kecepatan di bawah rata-rata. Jalan setapak itu berada diantara beraneka ragamnya warna bunga yang hanya bertahan sampai musim gugur nanti.
Pemuda itu sejenak menghentikan langkah kakinya, disebelah kanannya jauh sesudah padang bunga itu terlihat siluet pegunungan yang memiliki bukit-bukit yang mungkin tak kalah indahnya dengan bukit yang sekarang pemuda itu jejaki.  Dia tak mengingat gunung mana saja yang pernah ia singgahi dengan sang guru, tetapi baginya di sini lah tempat yang sangat mengesankan, entah apa sebabnya dia sendiri tidak tahu.  Hampir 2 kali musim panas terakhir telah dia lalui, jadi baginya ini adalah musim semi pertamanya di sini.  Perasaan tak menentu kembali menyeruak dalam benaknya, pulang kembali atau melarikan diri dari pukulan tongkat guru yang ahli pedang itu.  Tapi dia tetap meneguhkan hatinya untuk menemui orang tua yang dari dulu merawatnya itu, karena hanya guru itu lah keluarga yang dia punyai selama 23 tahun hidupnya di dunia ini.
“Apa kau sudah makan?” Tanya guru itu kepada pemuda itu setelah beberapa saat pemuda itu datang dengan wajah yang lelah dan gugup.
“Ehhmm…sudah guru..” pemuda itu menjawab sambil menundukkan wajahnya.
Breaakk…suara kayu yang dari tadi dipegang oleh guru itu itu berdentam pada meja kecil di halaman gubuk khas rakyat Dinasti Han pada masa itu.
“Apa kau makan daging lagi!!!” Suara guru itu meninggi.
“Tidak guru,,sungguh,aku hanya memakan beberapa potong ubi bakar yang diberikan oleh pedagang di desa yang tak jauh dari kaki bukit sana, aku mohon percaya denganku guru…” wajah pemuda itu memelas, seraya bersimpuh di hadapan gurunya.
Sang Guru berpaling tanpa memandang ke arah pemuda itu, masih dengan muka dingin yang tak bergeming.  Dibawanya piring berisi nasi seraya membawa segelas air putih di tangan yang lain, sementara kayu tadi disandarkannya pada meja kecil tadi.
“Makanlah…” guru itu meletakkan piring dan gelas tersebut di meja, setelah berlalu beberapa saat guru itu kembali membawa semangkuk sup kacang tanah dan beberapa buah Kesemek.
Meski masih takut-takut pemuda itu akhirnya mengangkat wajahnya untuk menatap wajah tegas sang guru, jauh di dalam mata guru itu dia melihat sebuah ketulusan yang tak pernah dia rasakan dengan siapa pun bahkan jauh lebih tulus dari pedagang yang memberinya ubi bakar tadi.  Sejak 20 tahun silam senyum dan keceriaan di wajah gurunya itu memang tampak memudar, dan dia sadar itu adalah kesalahan dirinya.  Sedikit demi sedikit pemuda itu bangkit dan duduk di kursi kayu berkaki dua yang ada tepat disebelahnya.
Pemuda itu terlihat makan dengan lahapnya, ternyata beberapa buah ubi bakar tadi tidak cukup untuk menebus rasa laparnya selama ini.  Semua nasi dan lauk pauk yang tadi disajikan oleh gurunya telah lenyap tak bersisa, yang tertinggal hanya lah remah dari buah kesemek.  Guru itu terus memperhatikan murid satu-satunya tersebut, ada rasa kasihan, bangga, dan kekhawatiran dalam benaknya terhadap pemuda yang senantiasa mengabdi kepadanya itu.
“Bidam…apa kau tadi berkelahi lagi?” meskipun dengan muka yang tetap dingin, nada suara sang guru mengandung siratan layaknya seorang ayah yang begitu perhatian terhadap putranya.
“Eeee..i..i..ya guru, maafkan aku sekali lagi guru” Bidam langsung beranjak dari kursi dan bertekuk lutut seraya memeluk betis sang guru.
“Bangkit lah..” Kewibawan yang senantiasa ditunjukkan Guru Munno membuat Bidam merasa yakin untuk kembali berdiri di hadapan gurunya itu.

Tidak ada komentar: